Depaving, Solusi Jangka Panjang Untuk Mengatasi Banjir dan Perubahan Iklim


Sadar atau tidak, semakin banyak lahan kosong yang kini mulai beralihfungsi menjadi lahan parkir. Didaerah sekitar rumah saya misalnya, ada sekitar 4 titik yang dulunya tanah produktif dengan hasil kebun yang melimpah, kini mulai berubah menjadi lahan parkir yang sudah di aspal. Akibatnya, permukiman warga yang dulunya tidak pernah banjir, kini mulai tergenang air. Sehingga banyak orang yang kini mulai meninggikan rumahnya. Sebuah solusi sementara yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah atau memperbaiki keadaan.


Banyak pula sekolah, yang dulunya memiliki taman dan pekarangan dengan pohon yang rimbun, kini mulai gersang karena minimnya lahan hijau. Sebagian menyiasatinya dengan hidroponik atau pot-pot berisi tanaman hias. Namun sejatinya, yang dibutuhkan adalah tanah resapan, bukan hanya sekedar tanaman hijau. Belum lagi pembangunan rumah kontrakan yang kian masif di gang-gang sempit. Sebuah PR yang cukup berat bagi siapapun yang nantiya akan menjadi kepala daerah (khususnya di wilayah padat penduduk seperti Jakarta & Tangerang). Mengingat pekan depan, akan ada Pilkada serentak disejumlah kota, kabupaten dan provinsi.


Namun, adakah solusi untuk masalah tersebut? Mari kita bahas bersama.


Depaving



Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, gerakan depaving mulai populer di banyak kota di Amerika Serikat dan Kanada. Devaping ialah membongkar sebanyak mungkin aspal dan jalan beton dan mengembalikannya ke tanah alami. Hal ini diharapkan mampu menghentikan laju perubahan iklim, menurunkan suhu panas bumi, mengatasi banjir, hingga memulihkan keanekaragaman hayati.


Awal Mula Munculnya Gerakan Depaving



Gerakan ini bermula di Portland, Oregon saat seorang pria bernama Arif Khan menginginkan sebuah taman di rumah barunya. Hingga beberapa teman datang membantunya untuk membongkar beton dipekarangan belakang rumahnya dan menciptakan sebuah taman yang ia mau. Namun diluar dugaan, hal yang mereka lakukan ini justru dilirik oleh sebuah kafe yang berada tak jauh dari rumah Khan. Sehingga merekapun kemudian diminta untuk melakukan hal yang sama pada kafe tersebut. Dan dari 1 aksi kecil ini, gerakan depaving mulai menyebar kebanyak tempat di Amerika Serikat dan Kanada. Dan banyak Sekolah hingga Gereja yang kini mulai mengembalikan fungsi tanah resapan disekitar mereka dengan membongkar beton-beton yang tidak diperlukan. Hasilnya, ada 6 titik yang kini mulai mengalami penurunan temperatur di Oregon. Pengukuran yang dilakukan oleh NASA bahkan mendapati bahwa depaving berhasil menurunkan temperatur di keenam titik ini hingga 7,7 °F. Wow, sebuah aksi lokal yang berdampak secara global.


Depaving Bisa Dilakukan di Indonesia


Dan kalau mau, hal yang sama pun sebetulnya bisa dilakukan di Jakarta dan sekitarnya. Misalnya dengan melakukan depaving di halaman sekolah, halaman rumah sakit, lahan parkir mall dan swalayan, hingga halaman perkantoran. Bayangkan jika ada sekitar 1x1 meter saja lahan beton yang dibongkar di satu titik lalu dikalikan dengan jumlah sekolah, puskesmas, rumah sakit, swalayan, mall hingga gedung perkantoran yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Tentu, akan ada begitu banyak perbedaan yang bisa kita rasakan. Bahkan tanpa perlu membangun lebih banyak lagi sumur resapan, rasa-rasanya banjir di Jakarta dapat mulai teratasi. Belum lagi jika penggunaan aspal dijalan-jalan utama kemudian dapat diganti dengan aspal yang memiliki daya serap air yang tinggi namun tetap mumpuni untuk menahan beban lalu lintas. Maka bukan hanya IKN yang akan menjadi kota hijau, melainkan juga Jakarta, Tangerang, dan kota-kota lain di Indonesia. Namun tentu, butuh partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan hal ini. Termasuk kalian yang sedang membaca postingan/artikel ini :D


Related Posts

Load comments

Comments