Belakangan, media sosial ramai dengan fenomena self-diagnosis. Yakni mengira-ngira atau menebak-nebak suatu penyakit yang "mungkin" di alami berbekal informasi umum yang kita dapatkan secara mandiri, baik dari internet maupun dari orang-orang disekeliling kita. Sejatinya, self-diagnosis bukanlah sebuah fenomena yang baru-baru ini saja terjadi. Namun kemajuan zaman serta perkembangan teknologi, membuat trend ini kian berkembang dikalangan milenials dan Gen Z. Adalah hal yang baik sebetulnya, ketika banyak orang mulai peduli pada kesehatan dirinya sendiri, baik secara fisik maupun mental. Namun menjadi sangat berbahaya, ketika masing-masing mulai melakukan self-diagnosis yang salah, yang berujung pada penanganan yang salah pula.
Maka penting bagi kamu untuk memiliki pandangan yang benar tentang hal ini, bahwa hanya tenaga medis seperti dokter, psikiater atau psikolog lah yang sejatinya berwenang untuk memberikan diagnosa atas suatu penyakit atau gangguan kesehatan tertentu (berdasarkan obervasi atau pemeriksaan lanjutan yang telah dilakukan). Kamu bahkan diperbolehkan untuk mencari second opinion dari dokter, psikiater atau psikolog lain untuk memvalidasi kembali hasil diagnosa yang sudah kamu terima.
Maka terlalu dini rasanya, untuk menebak suatu penyakit hanya berdasarkan pengalaman dari seseorang yang mungkin pernah mengalami gejala serupa dari penyakit tertentu, atau membaca sebuah artikel kesehatan yang belum tentu valid. Atau yang lebih parahnya lagi, adalah langsung mempercayai sebuah diagnosa yang bukan dituturkan oleh tenaga medis sama sekali. Misalnya saat seseorang merasakan gejala penyakit tertentu, kemudian mendatangi tempat pengobatan alternatif/tradisional, dan langsung di vonis mengidap penyakit ini itu, tanpa melalui pemeriksaan medis sama sekali.
Bahaya Self-Diagnosis yang perlu kamu waspadai
Saat kamu melakukan self-diagnosis, sejatinya kamu tengah memvonis dirimu mengidap suatu penyakit yang belum tentu kamu derita sama sekali. Misal, saat seseorang merasa bahwa dirinya mengidap bipolar karena mood-nya yang sering berubah-ubah atau sulit untuk tidur. Betul memang, bahwa salah satu gejala bipolar adalah mood atau suasana hati yang sering berubah-ubah hingga insomnia. Namun jangan lupa, mereka yang mengalami anxiety disorder juga mengalami gejala yang sama. Hal inilah yang membuat self-diagnosis menjadi cukup berbahaya bagi seseorang, sebab saat melakukan self-diagnosis kita bisa saja:
1. Salah mendiagnosa
Jika ada yang masih ingat, disalah satu postingan terdahulu saat sempat bercerita tentang penyakit Hypo-calcium yang saya derita. Yakni kekurangan kalsium ion dan total. Namun yang banyak orang belum tahu adalah, gejala awal yang saya alami justru lebih mirip gejala gerd atau asam lambung. Seperti mual, kembung, hingga bersendawa. Saat itu saya di vonis dokter mengidap radang lambung. Diagnosa yang bahkan baru keluar setelah saya menjalani serangkaian tindakan medis seperti USG dan endoskopi. Masalahnya, hampir tidak ada perubahan sama sekali meski dokter sudah meresepkan berbagai obat untuk meringankan gejala tersebut. Hingga akhirnya, saya mulai dirujuk ke dokter saraf untuk mengetahui apakah ada yang tidak beres dengan sistem saraf ditubuh saya. Dan dari hasil pemeriksaan inilah dokter akhirnya menyimpulkan bahwa yang saya derita adalah Hypo-Calcium. Dimana saat kadar kalsium ion dan total ditubuh saya membaik, berbagai gejala asam lambung yang saya alami juga akan ikut membaik.
Bayangkan, seberapa panjang dan melelahkannya pemeriksaan tersebut hanya untuk mendapatkan sebuah diagnosa penyakit yang betul-betul valid. Namun, itulah sejatinya proses diagnosa penyakit yang benar.
Sementara mereka yang melakukan self-diagnosis, umumnya akan melewatkan berbagai proses ini. Dan langsung memvonis dirinya mengidap penyakit tertentu berdasarkan 1 atau 2 gejala yang mungkin dialaminya. Padahal ada banyak penyakit lain, yang juga memiliki gejala serupa.
2. Salah penangangan
Bayangkan jika seseorang mulai melakukan self-diagnosis dan salah mendiagnosa penyakit yang dideritanya. Dan saking yakinnya, bahwa diagnosa yang dilakukannya itu benar. Ia kemudian mulai mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang ia yakini dapat mengatasi penyakit tersebut. Sungguh sangat berbahaya, bukan?
3. Memicu masalah kesehatan lain yang lebih serius
Gangguan kecemasan misalnya. Bayangkan jika seseorang mengalami insomnia atau sulit tidur karena terlalu lelah bekerja. Lalu mendapatkan informasi yang salah bahwa hal itu mungkin saja merupakan gangguan kesehatan mental. Yap, ia bisa saja akan benar-benar mengalami masalah kesehatan mental yang sejatinya tidak ia derita. Karena terlalu khawatir memikirkan hal itu.
Alasan seseorang melakukan self-diagnosis
Namun apa sebetulnya alasan dibalik self-diagnosis yang dilakukan oleh banyak orang?
1. Persepsi yang salah
Banyak orang enggan memeriksakan kesehatan mentalnya ke psikolog atau psikiater karena beranggapan bahwa dirinya masih waras. Padahal mereka yang pergi ke psikolog atau psikiater belum tentu mengalami gangguan mental yang cukup serius. Ada diantara mereka yang bisa saja hanya ingin mengetahui sejauh mana kesehatan mental yang ia miliki. Saya misalnya, tiap 6 bulan sekali saya rutin memeriksakan diri ke psikiater. Dimana dalam sesi konsultasi tersebut, kami biasanya hanya akan ngobrol ngalor-ngidul tentang kehidupan sehari-hari yang saya jalani. Yes, kadangkala ada hal-hal tertentu yang perlu kita ceritakan pada seseorang yang kita percayai. Yang kita tahu tidak akan menghakimi kita.
2. Ketakutan yang tidak beralasan
Banyak orang enggan pergi ke dokter, karena takut divonis menderita ini dan itu. Ada yang bahkan takut di tensi karena khawatir kalau jangan-jangan dirinya menderita hipertensi atau darah tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong seseorang untuk melakukan self-diagnosis.
3. Tidak percaya pada dokter, psikiater maupun psikolog
Saat pandemi lalu, banyak orang enggan periksa ke dokter atau rumah sakit karena "takut di covid-kan". Tak ayal, hal ini membuat tingkat kepercayaan masyarakat pada dokter dan rumah sakit mulai menurun. Ketimbang pergi ke dokter atau rumah sakit, mereka lebih memilih untuk mengkonsumsi obat warung atau generic maupun rebus-rebusan yang diyakini mampu menyembuhkan sakit yang dideritanya. Tentu hal ini bermula dari misinformasi yang mereka terima. Namun tanpa sadar, hal ini turut mendorong seseorang melakukan self-diagnosis. Mereka jauh lebih yakin pada informasi yang mereka dapatkan di internet, ketimbang memeriksakannya ke dokter.
Kamu boleh saja melakukan self-diagnosis sebagai sebuah acuan sebelum memeriksakan diri ke dokter, psikiater atau psikolog. Namun jangan lantas, menyimpulkannya sendiri. Sebab dokter pun perlu melakukan observasi hingga serangkaian tindakan medis tertentu sebelum memberikan hasil diagnosanya.
Comments