Mengenal Apa Itu Kebijakan Hilirisasi dan Keuntungannya Bagi Indonesia


Sejak tahun 2020, Presiden Joko Widodo secara tegas memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa. Kebijakan yang dikenal dengan istilah Hilirisasi ini, tak ayal menuai banyak tentangan ~ khususnya dari negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa bahkan langsung mengambil langkah hukum dengan menggugat Indonesia ke WTO (World Trade Organization) pada tahun 2021 lalu. Dan yang terbaru, IMF mendesak pemerintah untuk menghentikan kebijakan ini karena diangap "akan merugikan negara". Tentu pernyataan ini langsung disanggah oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia. karena menurut Bahlil negara justru sangat diuntungkan dengan kebijakan ini.


Namun, apa sebetulnya Kebijakan Hilirisasi itu dan apa untungnya bagi Indonesia?




Secara ringkas, hilirisasi bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari berbagai komoditas yang dimiliki negara dengan cara mengekspor barang yang sudah jadi atau setengah jadi. Dalam hal ini, presiden ingin supaya setiap komoditas atau sumber daya alam yang kita miliki tidak langsung di ekspor sebagai barang mentah. Namun lebih dulu diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi untuk meningkatkan nilai jual dan mendorong percepatan ekonomi, melalui devisa dan penerimaan pajak yang lebih besar.


Hasilnya, dari data yang dirilis BPS pada tahun 2022 lalu. Nilai ekspor bijih nikel yang semula hanya mencapai USD 3,40 miliar. Mengalami peningkatan yang sangat signifikan yakni hingga mencapai USD 12,35 miliar. Sebuah angka yang tentu saja jauh dari kata rugi seperti yang didengung-dengungkan oleh IMF. Meski WTO akhirnya justru memenangkan gugatan Uni Eropa dengan alasan ketidaksiapan industri hilir Indonesia untuk menerapkan kebijakan ini.


Tentu, pemerintah tak langsung menerima kekalahan ini begitu saja, karena masih ada opsi banding yang bisa dilakukan. Bahkan alih-alih membuka kembali "kran ekspor" kita untuk bijih nikel. Pemerintah justru memberlakukan kebijakan yang sama pada bauksit terhitung sejak bulan Juni 2023 lalu. Sebuah langkah yang tentu saja turut mengisyaratkan "perlawanan" Indonesia terhadap gugatan Uni Eropa. Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator bidang kemaritiman dan investasi Indonesia bahkan secara tersirat meminta agar negara lain tidak mendikte Indonesia untuk urusan kebijakan hilirisasi ini. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo bahkan menganggap langkah hukum yang ditempuh Uni Eropa sebagai "penjajahan modern". Ia pun membandingkan sistem kerja paksa di zaman penjajahan Belanda, dengan ekspor paksa yang kini dituntut oleh negara-negara eropa. Dalam pidato ini Presiden bahkan kembali menegaskan bahwa bijih nikel, bauksit, tembaga hingga timah yang dipermasalahkan adalah "milik kita".


Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia bahkan turut mempertanyakan standart ganda IMF dalam kasus ini. Ia justru bingung, mengapa IMF harus turut campur hingga mengeluarkan rekomendasi tersebut. Sementara IMF sendirilah yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia ada dalam tren yang positif dengan neraca perdagangan yang terus bergerak naik. Baginya, rekomendasi IMF betul-betul diluar nalar berpikir.


Ia bahkan turut memaparkan data yang dimiliki pemerintah terkait kebijakan ini. Sebelum adanya kebijakan hilirisasi, yakni dalam rentang tahun 2017-2018, pendapatan negara dari ekspor biji nikel hanya sekitar USD 3,3 Miliar. Sementara setelah adanya kebijakan hilirisasi, pendapatan kita mencapai USD 30 Miliar. Defisit neraca perdagangan kita dengan China yang semula mencapai USD 18 Miliar pun mulai menurun setelah adanya kebijakan ini. Di tahun 2022 lalu, defisit neraca perdagangan kita dengan China bahkan hanya sekitar USD 1,5 Miliar. Tak hanya itu, di kuartal pertama tahun 2023 kita bahkan sudah surplus USD 1 Miliar.


Lebih jauh, Bahlil turut mempertanyakan, "waktu negara kita rugi, apakah negara lain memikirkan kita?". Pertanyaan ini disodorkan Bahlil untuk menyanggah salah satu poin IMF yang menganggap bahwa kebijakan ini akan turut merugikan negara lain.


Yang jelas, larangan ekspor komoditas tambang yang diberlakukan pemerintah justru berdampak positif pada naiknya nilai investasi ke sektor logam dasar. Kenaikan ini diharapkan mampu menciptakan banyak lapangan kerja baru bagi masyarakat. Terlebih karena permintaan nikel yang diprediksi akan terus naik seiring dengan pengurangan emisi karbon. Bahkan bukan tidak mungkin, kalau 10-20 tahun kedepan Indonesia dapat merajai produksi baterai listrik dunia.


Lantas bagaimana jika Indonesia benar-benar kalah dalam pengajuan banding ini?


Credit image: n-bri.org


Sebelum lebih jauh berasumsi, kita perlu tahu dulu bahwa dasar yang digunakan oleh negara-negara Uni Eropa untuk menggugat Indonesia adalah ketentuan WTO sebagaimana yang tertuang dalam Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and trades (GATT) 1994, yang berbunyi:


No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.


Artinya jika sampai kalah, masih ada beberapa langkah yang dapat diambil Indonesia seperti: 


1. Mengenakan bea ekspor yang lebih tinggi pada bijih nikel mentah dan sebaliknya memberikan bea yang lebih rendah terhadap nikel yang telah diolah. Sebab dalam poin tersebut WTO hanya melarang pembatasan dalam bentuk kuota ekspor. Sementara untuk urusan pajak, WTO tidak memberikan batasan sama sekali. 


2. Para Importir wajib memiliki pabrik pengolahan di Indonesia, sehingga seluruh proses produksi tetap berlangsung didalam negeri. Dan tujuan pemerintah untuk menciptakan banyak lapangan kerja tetap terlaksana, sebagai akibat dari kemitraan yang dilakukan para importir dengan industri lokal.  


Namun yang perlu dicatat, "Indonesia belum kalah" dan masih amat mungkin untuk memenangkan gugatan dan merajai produksi baterai listrik dunia. Terakahir, saya ingin menutup postingan ini dengan satu kalimat tegas dari Pak Bahlil, "Yang tahu tujuan negara ini adalah kita sendiri, pemerintah Indonesia dan Rakyat Indonesia."


Related Posts

Load comments

Comments