Bolehkah Bayi Dikenalkan pada Gadget? Dan Adakah Dampaknya?



Jika diperhatikan, banyak anak balita yang kini cenderung mengalami hambatan dalam proses perkembangannya. Utamanya, perlambatan perkembangan bahasa dan kemampuan berpikir. Hal ini karena sedari kecil, mereka sudah diperkenalkan dengan "gadget".  Tak sedikit orang tua yang bahkan sudah mulai memperkenalkan gadget kepada buah hati mereka diusia kurang dari 1 tahun. Alhasil, banyak anak yang kemudian mengalami keterlambatan bicara. Tentu, ada berbagai alasan yang kemudian coba dikemukakan para orang tua, seperti "agar anak anteng" saat ditinggal untuk memasak atau beberes rumah. Hingga agar anak mengenal dunia digital sejak dini. Namun masalahnya, banyak ahli setuju bahwa ada jauh lebih banyak dampak negatif yang akan dialami anak dikemudian hari ketimbang dampak positifnya. Karena diusia tersebut, kemampuan berinteraksilah yang semestinya diajarkan pada anak, dan bukan kemampuan untuk mengoperasikan gadget. 


Jangan Berikan Gadget Pada Bayi di Bawah 1 Tahun!


Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh APA (Academic Pediatric Association), sebanyak 40% bayi yang baru berusia 3 bulan kini sudah mulai terpapar oleh gadget. Tak secara langsung memang, namun melalui gadget yang sedang dimainkan oleh orang tuanya. Misalnya saat si ibu tengah asik scrolling media sosial sembari menyusui si kecil. Atau saat orang tua sebetulnya bermaksud baik untuk mengajarkan sebuah lagu baru pada anak, namun dengan cara yang salah, yakni membiarkan anak menontonnya secara langsung dari sebuah video di kanal YouTube. Maka jika kamu, termasuk 1 diantara sekian banyak orang tua yang tanpa sadar telah melakukannya. Jangan lantas meneruskannya, dan justru membiarkan si kecil "anteng" dengan gadgetnya. Sebab, ada berbagai dampak negatif yang tengah mengintai si kecil, seperti:


1. Membuat anak sulit untuk fokus




Tahukah kamu, bahwa penggunaan gadget berlebih pada anak balita dapat membuatnya berisiko mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder)? Yap, anak akan mudah merasa gelisah saat belum menyentuh gagdet sama sekali. Serta sulit untuk fokus saat diajak berinteraksi ketika tengah asik bermain gadget. Bahkan menunjukkan tanda-tanda tantrum saat orang tua hendak mengambil gadget tersebut dari tangan anak. Hal ini karena diusianya, anak masih membutuhkan stimulasi dari dunia luar. Itu mengapa, orang tua zaman dulu biasanya akan terus menerus mengajak anak bayi mereka untuk berinteraksi atau berbicara. Mereka biasanya akan terus mengulang-ulang sebuah pertanyaan atau kalimat hingga anak mulai merespons. Yap, hal ini karena diusianya bayi membutuhkan waktu untuk memproses semua stimulasi tersebut. Sementara perpindahan gambar yang begitu cepat pada video yang ditonton anak di gagdetnya justru akan menghambat waktu atensi dan fokus anak. Akibatnya, anak akan cenderung malas belajar saat menginjak usia sekolah. Bahkan sulit untuk memahami apa yang disampaikan gurunya disekolah.  


2.  Membuat anak terlambat berbicara




Di tahun 2017 lalu, Dr. Catherine Birken, MD, MSc, FRCPC, dalam presentasinya di acara Pediatric Academic Societies Meeting mengatakan, bahwa balita berusia 6 bulan hingga 2 tahun yang menatap layar gadget lebih dari 20 menit/hari memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk mengalami "speech delay" atau keterlambatan bicara. Studi ini melibatkan hampir 900 anak, dengan pertanyaan utama terkait "berapa lama (dalam hitungan menit) anak dibiarkan menatap layar gagdet setiap harinya?". Dan dari jawaban para orang tua inilah, para peneliti kemudian melakukan validasi untuk melihat berbagai hal. Termasuk menilai perkembangan bahasa anak di usia rata-rata 18 bulan. 


Hasilnya, anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain gadget ternyata mengalami penundaan bicara ekspresif, yakni kemampuan untuk menggunakan suara dan kata. Sehingga dari hasil ini, AAP (American Academy of Pediatrics) tetap pada rekomendasi semula yang saat ini masih digunakan yaitu, tidak memperbolehkan pemberian gadget pada balita berusia dibawah 18 bulan. Kecuali, untuk melakukan video call dengan keluarganya, semisal opa dan omanya yang mungkin tinggal diluar kota namun ingin melihat cucunya secara virtual. Orang tua bahkan dianjurkan untuk jangan dulu memberikan gadget pada anak berusia 18-24 bulan supaya interaksi antara anak dan orang tua tidak terputus atau ter-distract oleh penggunaan gadget. 


3. Membuat anak sulit untuk melakukan interaksi sosial




Sadarkah kamu, bahwa anak-anak dan remaja yang banyak mengabiskan waktu mereka dengan bermain gagdet cenderung lebih nyaman untuk berinterkasi melalui chat messenger dan media sosial ketimbang bercengkerama secara langsung atau tatap muka. Lantas bagaimana dengan anak balita? Menurut Charles Nelson yang merupakan Profesor dibidang pediatrics, neuroscience dan psikologi, pemberian gadget pada anak balita akan menghambat kemampuannya untuk membaca emosi dan mengontrol rasa frustasi. Hal ini karena diusianya, anak balita akan jauh lebih banyak mengandalkan ekspresi orangtua untuk memahami lingkungan sekitarnya. Dan hal ini hanya bisa mereka dapat melalui interaksi dua arah. Sementara interaksi anak dengan gadget hanya bersifat satu arah. Lebih jauh, interaksi dua arah jugalah yang akan membantu anak belajar tentang apa itu empati, koneksi, kasih sayang, dan rasa memiliki. Maka jika diusianya anak kehilangan semua kemampuan ini, nantinya ia dikhawatirkan akan tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungannya atau Anti Sosial.


Selain ketiga hal diatas, ada pula bahaya paparan radiasi yang mengintai anak (khususya kesehatan mata dan sel-sel sarafnya). Hingga risiko obesitas dan berbagai gangguan kesehatan lainnya jika penggunaan gadget kemudian juga membuat anak jarang untuk bergerak. Sebisa mungkin, hindari pemberian gadget pada anak sebelum waktunya. Dan biarkan anak melalui setiap masa pertumbuhan dan perkembangannya sebagaimana yang seharusnya. Biarkan ia berinteraksi dengan teman-temannya diluar rumah. Bahkan berlarian dibawah terik matahari. Karena melalui hal-hal inilah anak akan belajar mengembangkan keterampilan sosial dan emosionalnya, memperkuat otot hingga meningkatkan keseimbangan serta koordinasi tubuh mereka.


Related Posts

Load comments

Comments