Kamu tentu pernah mendengar istilah antibiotik, bukan? Namun, apa sebetulnya antibiotik itu? Antibiotik sendiri merupakan obat yang biasanya akan diresepkan dokter untuk pasien yang didiagnosa mengalami penyakit akibat infeksi bakteri. Misalnya, penyakit radang tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus atau penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri E. coli. Cara kerjanya ialah dengan menghambat pertumbuhan bakteri dan membunuh sel bakteri hingga infeksi bakteri dapat teratasi.
Mitos Tentang Antibiotik yang Beredar di Masyarakat
Masalahnya, ada banyak sekali mitos yang beredar dimasyarakat tentang obat antibiotik, dimana sebagian besar diantaranya justru menyesatkan. Itu mengapa, pafikotabandarseribentan.org dan PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia) diberbagai daerah lain di Indonesia merasa perlu untuk melakukan edukasi terkait hal ini. Agar masyarakat dapat meminum obat dengan cara yang benar. Nah, berbagai mitos tersebut antara lain:
1. Antibiotik mampu menyembuhkan segala macam penyakit
Saking seringnya dokter meresepkan antibiotik bagi kita. Banyak dari kita yang justru berpikir bahwa antibiotik mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Ada yang bahkan merasa belum betul-betul sembuh jika belum meminum obat antibiotik. Sehingga setiap kali berobat, hal pertama yang akan kita tanyakan saat dokter mulai menulis resep adalah "ada obat antibiotik-nya dok?"
Padahal faktanya, antibiotik hanya akan diresepkan dokter jika pasien mengalami sakit penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Maka semisal yang kamu derita adalah flu dan batuk, dokter tentu tidak akan meresepkan antibiotik bagimu. Sebab penyebab flu bukanlah bakteri melainkan virus.
2. Jarang minum antibiotik akan membuat tubuhmu resisten terhadap pemberian antibiotik
Ada pula yang berpendapat, kalau saat sakit kamu jarang atau bahkan tidak pernah meminum antibiotik sama sekali, maka lama kelamaan tubuhmu akan resisten terhadap antibiotik. Faktanya, kasus resistensi terhadap antibiotik memang ada. Namun asalnya bukan dari tubuh kita, melainkan dari bakteri yang ada disekitar kita. Maka semakin buruk sanitasi lingkungan disekitar kita, semakin besar pula kemungkinan bakteri yang ada didalamnya telah resisten terhadap antibiotik tertentu. Sehingga dokter perlu meresepkan antibiotik dengan daya bunuh yang jauh lebih kuat.
3. Tidak ada efek samping dari antibiotik
Ada yang menganggap bahwa antibiotik merupakan jenis obat yang paling aman untuk dikonsumsi sebab tidak menimbulkan efek samping sama sekali. Faktanya, seperti halnya jenis obat-obatan lain ada pula risiko dan efek samping dari pemberian antibiotik. Yang paling sering ditemui ialah reaksi alergi. Itu mengapa, sebelum meresepkan obat apapun, dokter biasanya akan menanyakan terlebih dahulu pada pasien apakah yang bersangkutan menderita alergi obat atau alergi tertentu pada makanan? Bahkan jika kamu berobat dirumah sakit besar, dokter mungkin saja akan mencoba menyuntikkan sedikit antibiotik tersebut di bagian lenganmu untuk melihat apakah ada reaksi alergi atau tidak.
4. Obat sisa, termasuk antibiotik boleh diberikan pada orang lain
Banyak klinik dan rumah sakit yang sebetulnya telah memberikan peringatan dikemasan plastiknya agar pasien tidak memberikan obat-obatan yang diterimanya pada orang lain. Hal ini karena infeksi dan tingkat keparahan tiap-tiap orang mungkin saja berbeda. Masalahnya, dimasyarakat kita sering mendapati tetangga atau bahkan anggota keluarga kita sendiri yang menawarkan sisa obat antibiotiknya. Saat melihat ada tetangga/anggota keluarganya yang menderita penyakit yang sama dengan yang sempat ia derita. Padahal, ada banyak faktor yang dipertimbangkan dokter saat meresepkan obat tersebut, mulai dari kondisi klinis pasien seperti, apakah ia memiliki riwayat penyakit tertentu, alergi tertentu atau sedang dalam kondisi tertentu (misalnya, sedang hamil). Maka sebisa mungkin, jangan berikan obatmu pada orang lain atau meminum obat yang diresepkan bagi orang lain meski penyakit yang kamu derita mungkin terlihat sama.
5. Tidak perlu mengikuti anjuran dokter, termasuk saat mengonsumsi Antibiotik
Pernahkah kamu berobat ke klinik atau rumah sakit lalu dipesankan dokter yang memeriksamu untuk "menghabiskan antibiotik" yang diberikan. Namun alih-alih menghabiskannya, kamu justru menghentikan penggunaan antibiotik tersebut karena merasa sudah sembuh.
Betul memang, ada berbagai uji klinis yang mendapati bahwa efikasi alias kemanjuran dari antibiotik yang diberikan dalam durasi singkat dengan antibiotik yang diberikan dalam durasi panjang ternyata setara. Misalnya, pada infeksi saluran kemih yang menyebabkan Pyelonephritis. Pemberian antibiotik selama 7 hari ternyata sama efektifnya dengan pemberian antibiotik selama 10-14 hari. Namun tidak semua kasus bisa kamu sama ratakan. Dalam kasus tertentu, pemberian antibiotik dalam waktu lama mungkin saja akan lebih bermanfaat. Dan jika dokter hingga apoteker sampai memesankanmu untuk menghabiskannya, maka usahakan untuk menghabiskannya. Karena hal ini mungkin saja dimaksudkan untuk menurunkan risiko resistensi.
Atau adapula diantaramu yang mungkin lebih senang mengonsumsi obat secara sekaligus. Misalnya dengan mengonsumsi 2 kapsul antibiotik sekaligus alih-alih meminumnya pagi dan sore. Bagi kamu yang masih sering melakukannya, usahakan untuk segera menghentikan kebiasaan buruk ini.
Nah, itulah 5 mitos tentang antibiotik yang perlu diluruskan. Melalui berbagai edukasi langsung yang dilakukan ditengah masyarakat, pafikotabandarseribentan.org berharap agar masyarakat dapat lebih bijak mengonsumsi antibiotik dengan mengikuti setiap anjuran yang diberikan oleh dokter maupun apoteker yang bertugas sehingga indeks ketahanan kesehatan kita dapat terus meningkat dari waktu ke waktu.
Comments