Hukum dan Etika Self-Plagiarism dan Salami Publication di Jenjang Pendidikan Tinggi


Di dunia pendidikan tinggi, tekanan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah, baik itu skripsi, tesis, disertasi, maupun jurnal ilmiah, terasa begitu nyata. Tenggat waktu yang mepet dan tuntutan untuk terus produktif seringkali membuat mahasiswa dan para akademisi mencari jalan pintas. Salah satu godaan terbesarnya adalah menggunakan kembali karya yang pernah dibuat sebelumnya. Yap, meski yang kamu gunakan sebetulnya merupakan tulisan, ide atau karyamu sendiri, namun dalam jenjang pendidikan tinggi hal ini tetap tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana dikutip dari laman https://birohukum.kemendikbudristek.com/, tindakan ini dianggap sebagai sebuah bentuk self-plagiarism. 


Lebih jauh lagi, ada pula praktik lain yang dikenal dengan istilah salami publication, sebuah strategi untuk "memperbanyak" jumlah publikasi dari satu penelitian saja. Keduanya mungkin terdengar sah-sah saja untuk dilakukan, namun dalam standar etika akademik dan publikasi ilmiah global, tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran serius yang bisa berakibat fatal bagi karier dan reputasimu.


Apa Itu Self-Plagiarism?




Self-plagiarism atau plagiarisme diri adalah tindakan menggunakan kembali karya ilmiah yang telah kamu publikasikan atau kirimkan sebelumnya tanpa memberikan sitasi yang tepat kepada karya asli. Berbeda dengan plagiarisme konvensional yang mencuri karya orang lain, self-plagiarism melibatkan "pencurian" terhadap karya sendiri dengan cara menyajikannya sebagai karya baru dan orisinal.


Menurut definisi akademik, praktik ini dapat berupa:


  • Pengiriman ulang seluruh naskah yang pernah dipublikasikan
  • Penyalinan atau parafrase bagian-bagian dari karya terdahulu tanpa sitasi
  • Penggunaan kembali data penelitian yang telah dipublikasikan tanpa pemberitahuan
  • Publikasi beberapa artikel berbeda tentang penelitian yang sama di jurnal yang berbeda


Dalam konteks hukum pendidikan di Indonesia, berdasarkan Permendikbudristek No. 39 Tahun 2021, Self-plagiarism didefinisikan sebagai perbuatan mengambil sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber secara tepat.


Bentuk-Bentuk Self-Plagiarism yang Sering Terjadi


Ada beberapa bentuk self-plagiarism yang perlu kamu ketahui:


1. Duplikasi Publikasi (Duplicate Publication)


Ini terjadi ketika seseorang menerbitkan artikel yang sama persis di beberapa jurnal berbeda. Seperti kasus yang menimpa Rektor USU terpilih Muryanto Amin, yang diduga mempublikasikan disertasi S3 miliknya ke beberapa jurnal berbeda dengan tingkat kemiripan 72-91%.


2. Penggunaan Ulang Data Tanpa Sitasi


Ketika peneliti menggunakan kembali data dari penelitian sebelumnya tanpa mencantumkan rujukan ke publikasi asli, ini termasuk self-plagiarism.


3. Text Recycling atau Daur Ulang Teks


Menggunakan kembali kalimat, paragraf, atau bagian substansial dari karya sendiri yang sudah dipublikasikan tanpa memberikan kutipan yang tepat.


Pengertian Salami Publication




Salami publication atau publikasi iris tipis adalah praktik memecah satu penelitian utuh menjadi beberapa artikel terpisah yang dipublikasikan secara terpisah untuk meningkatkan jumlah publikasi. Istilah "salami" digunakan karena menyerupai cara mengiris salami (sejenis sosis) menjadi potongan-potongan kecil.


Karakteristik utama salami publication meliputi:


  • Kesamaan hipotesis dan metodologi penelitian
  • Subjek penelitian yang identik atau sangat mirip
  • Pemecahan data satu penelitian menjadi beberapa "unit publikasi minimal"
  • Tujuan utama untuk meningkatkan kuantitas publikasi daripada kontribusi ilmiah


Menurut Perpustakaan Universitas Indonesia, salami slicing biasanya digunakan untuk menambah jumlah publikasi penelitian sehingga berdampak pada percepatan sitasi, namun ini bukan tindakan yang dapat diterima.


Kriteria Salami Publication


Namun perlu ditekankan, bahwa tidak semua pembagian penelitian dapat dikategorikan sebagai salami publication. Praktik ini menjadi bermasalah ketika:


1. Menggunakan Populasi dan Metode yang Sama


Ketika dua paper berbeda menggunakan populasi dan metode penelitian yang identik, atau hanya dengan variabel yang sedikit berbeda hal ini dapat dikategorikan sebagai salami publication.


2. Fragmentasi Data Buatan


Yaitu memecah satu dataset besar menjadi beberapa bagian kecil hanya untuk meningkatkan jumlah publikasi, padahal sebenarnya satu dataset tersebut lebih bermakna jika dipublikasikan utuh.


3. Tidak Ada Kontribusi Ilmiah yang Signifikan


Ciri lain dari salami publication ialah setiap "irisan/potongan artikel" tersebut tidak memberikan insight baru yang substansial bagi perkembangan ilmu pengetahuan.


Dampak Negatif Salami Publication


Praktik ini merugikan ekosistem akademik dalam beberapa cara:


  1. Pemborosan Sumber Daya: Menghabiskan waktu reviewer, editor, dan pembaca yang harus menelaah beberapa artikel untuk memahami satu penelitian utuh.
  2. Distorsi Literatur Ilmiah: Membanjiri publikasi dengan artikel-artikel yang sebenarnya redundan, sehingga menyulitkan pencarian literatur yang relevan.
  3. Bias dalam Meta-Analysis: Data yang sama dapat terhitung berulang kali dalam kajian sistematis, sehingga menyesatkan kesimpulan ilmiah.
  4. Ketidakadilan Kompetisi Akademik: Memberikan keuntungan tidak fair bagi penulis yang menggunakan praktik ini dibanding peneliti yang mempublikasikan penelitian secara utuh.


Landasan Hukum dan Regulasi di Indonesia


Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 39 Tahun 2021


Regulasi terbaru ini menjadi payung hukum utama yang mengatur integritas akademik di Indonesia. Dalam pasal 10, peraturan ini secara eksplisit menyebutkan plagiat sebagai pelanggaran integritas akademik yang mencakup:


  • Mengambil sebagian atau seluruh karya milik orang lain tanpa menyebut sumber secara tepat
  • Menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri sebagian atau seluruh karya milik orang lain walaupun menyebut sumber
  • Mengambil sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber secara tepat


Poin terakhir ini secara langsung merujuk pada self-plagiarism, hal ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia telah mengakui praktik ini sebagai pelanggaran yang setara dengan plagiarisme konvensional.


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta


UU Hak Cipta memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap karya intelektual, termasuk karya akademik. Pasal 113 mengatur sanksi pidana dengan ancaman:


  • Pidana penjara paling lama 4 tahun
  • Denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)


Meskipun dalam konteks self-plagiarism aspek "pencurian" menjadi kompleks karena melibatkan karya sendiri, namun pelanggaran dapat terjadi jika ada pelanggaran hak cipta penerbit atau institusi yang telah mempublikasikan karya tersebut.


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


Pasal 70 UU Sisdiknas secara khusus mengatur plagiarisme dalam konteks akademik dengan sanksi:


  • Pidana penjara paling lama 2 tahun
  • Denda paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)
  • Sanksi pencabutan gelar sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2)


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Pasal 380 KUHP mengatur tindakan penipuan terkait hak cipta dengan ancaman hukuman maksimal 2 tahun 8 bulan penjara. Meskipun tidak secara eksplisit menyebut plagiarisme, pasal ini sering digunakan sebagai dasar hukum untuk menuntut pelaku plagiarisme.


Sanksi dan Konsekuensi Hukum


Sanksi Administratif


Berdasarkan Permendikbudristek No. 39 Tahun 2021, sanksi administratif dapat berupa:


Untuk Mahasiswa:


  • Teguran lisan dan tertulis
  • Penundaan hak untuk mengikuti ujian atau memperoleh gelar
  • Pembatalan nilai mata kuliah terkait
  • Pemberhentian sebagai mahasiswa
  • Pembatalan ijazah yang telah diterbitkan


Untuk Dosen dan Peneliti:


  • Teguran tertulis
  • Penundaan kenaikan pangkat atau jabatan
  • Pemberhentian dari jabatan akademik
  • Pelarangan mengajukan penelitian atau publikasi untuk periode tertentu


Sanksi Pidana


Pelaku self-plagiarism dan salami publication dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan beberapa undang-undang:


Berdasarkan UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014:


  • Penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda Rp. 1 miliar


Berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003:


  • Penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda Rp. 200 juta
  • Pencabutan gelar akademik


Berdasarkan KUHP Pasal 380:


  • Penjara maksimal 2 tahun 8 bulan


Konsekuensi Karier dan Reputasi


Selain sanksi formal, pelaku juga menghadapi konsekuensi jangka panjang seperti:


  • Rusaknya reputasi akademik yang sulit dipulihkan
  • Kesulitan mendapat posisi akademik atau penelitian di masa depan
  • Kehilangan kepercayaan dari kolega dan institusi
  • Pembatalan atau penarikan publikasi (retraction)
  • Blacklist dari jurnal-jurnal ilmiah


Studi Kasus: Kontroversi Rektor USU


Kasus yang paling mencuat adalah kontroversi Muryanto Amin, rektor terpilih USU yang dituduh melakukan self-plagiarism. Rektor USU saat itu, Runtung Sitepu, mengeluarkan SK yang menyatakan Muryanto terbukti melakukan plagiat karya sendiri dengan sengaja dan berulang.


Namun, setelah Kemendikbud melakukan investigasi mendalam dengan tim reviewer independen dari UGM, Undip, dan Unnes, keputusan akhir menyatakan bahwa Muryanto tidak melakukan plagiarisme karena yang dilakukan hanya menerbitkan ulang karya miliknya. Kasus ini menunjukkan betapa rumitnya pembedaan antara pemanfaatan ulang yang sah dan self-plagiarism yang melanggar etika pada saat itu sehingga muncullah Permendikbudristek No. 39 Tahun 2021 beberapa bulan kemudian.


Dampak dan Konsekuensi


1. Terhadap Integritas Ilmiah


Self-plagiarism dan salami publication dapat merusak integritas ilmiah dan menghambat kemajuan pengetahuan. Ketika peneliti lebih fokus pada kuantitas publikasi daripada kualitas, kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan menjadi terabaikan.


2. Pada Reputasi Institusi


Kasus plagiarisme yang melibatkan akademisi senior dapat mencoreng reputasi institusi pendidikan. Seperti yang dialami USU, kontroversi ini mempengaruhi kredibilitas universitas di mata publik.


3. Efek Domino pada Lingkungan Akademik


Praktik yang tidak etis ini dapat menciptakan budaya akademik yang permisif terhadap pelanggaran integritas. Jika dibiarkan, hal ini dapat merusak sistem evaluasi kinerja akademik secara keseluruhan.


Etika Publikasi dalam Konteks Perguruan Tinggi


Menurut panduan etika publikasi yang diadopsi universitas-universitas di Indonesia, terdapat enam nilai integritas akademik yang harus dijunjung tinggi:


  1. Kejujuran: Menyajikan informasi secara akurat tanpa fabrikasi atau falsifikasi data.
  2. Kepercayaan: Membangun kredibilitas melalui transparansi dalam proses penelitian dan publikasi.
  3. Keadilan: Memberikan kredit yang tepat kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penelitian.
  4. Kehormatan: Menjaga martabat dan integritas profesi akademik.
  5. Tanggung Jawab: Mempertanggungjawabkan setiap aspek dari karya ilmiah yang dihasilkan.
  6. Keteguhan Hati: Konsisten menerapkan prinsip-prinsip etika meskipun menghadapi tekanan kompetitif.


Implementasi di Perguruan Tinggi Indonesia


Berdasarkan studi terhadap kebijakan universitas-universitas di Indonesia, implementasi etika publikasi masih menghadapi berbagai tantangan, seperti:


  1. Dominasi Pendekatan Regulatif: Kebijakan anti-plagiarisme lebih berfokus pada sanksi daripada edukasi preventif.
  2. Kurangnya Pendekatan Edukatif: Minimnya program sosialisasi yang membantu sivitas akademika memahami nuansa etika publikasi.
  3. Variasi Interpretasi: Perbedaan penafsiran antar institusi mengenai batas-batas yang dapat diterima dalam self-citation dan penggunaan karya sendiri.


Pencegahan dan Penanganan


Strategi Pencegahan Institusional


Perguruan tinggi di Indonesia telah mengembangkan berbagai strategi pencegahan, seperti:


  1. Penggunaan Software Deteksi: Implementasi Turnitin, I-Thenticate, dan software serupa untuk mengecek kemiripan naskah.
  2. Program Edukasi: Workshop dan pelatihan tentang etika publikasi dan teknik sitasi yang benar.
  3. Kebijakan Similarity Check: Penetapan batas maksimal persentase kemiripan yang diizinkan (umumnya 20-25%).
  4. Sistem Pelaporan: Mekanisme pelaporan dugaan pelanggaran yang mudah diakses dan terlindungi kerahasiaannya.


Menghindari Self-Plagiarism


  • Sitasi Diri yang Benar: Selalu kutip karya sendiri yang telah dipublikasikan dengan format sitasi yang tepat, sama seperti mengutip karya orang lain.
  • Transparansi kepada Editor: Informasikan kepada editor jurnal jika sebagian material telah dipublikasikan sebelumnya dan jelaskan kontribusi baru yang ditambahkan.
  • Penggunaan Boilerplate secukupnya: Batasi penggunaan kalimat atau paragraf standar (seperti deskripsi metodologi) dan selalu berikan sitasi jika menggunakan formulasi yang sama persis.
  • Konsultasi dengan Dosen Pembimbing: Diskusikan dengan pembimbing atau mentor mengenai batasan yang dapat diterima dalam menggunakan karya terdahulu.


Menghindari Salami Publication


  • Perencanaan Publikasi: Rencanakan dari awal bagaimana hasil penelitian akan dipublikasikan secara utuh dan bermakna.
  • Fokus pada Kontribusi Ilmiah: Pastikan setiap publikasi memiliki kontribusi ilmiah yang substansial dan berbeda.
  • Mampu Memberikan Insight Baru: Jika perlu memecah publikasi, pastikan setiap bagian dapat berdiri sendiri dan memberikan nilai tambah yang signifikan.
  • Transparansi dalam Publikasi: Jelas menyatakan hubungan antara publikasi yang berbeda jika berasal dari proyek penelitian yang sama.


Tantangan dan Perlunya Perbaikan


Tantangan dalam Penegakan Hukum


Penegakan hukum terhadap self-plagiarism dan salami publication di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, yakni:


  1. Kesulitan DeteksiSoftware deteksi plagiarisme tidak selalu efektif mendeteksi salami publication karena mungkin tidak ada duplikasi teks langsung.
  2. Interpretasi yang Beragam: Pasal 10 ayat (3) Permendikbudristek No. 39 Tahun 2021 masih mengandung frasa "sebagian" yang menimbulkan interpretasi ganda.
  3. Kurangnya Konsistensi: Setiap universitas memiliki kebijakan sendiri-sendiri, sehingga tidak ada standar nasional yang seragam.


Perlunya Perbaikan 


1. Sistem Evaluasi


Sistem evaluasi kinerja akademisi perlu lebih menekankan pada kualitas daripada kuantitas publikasi. Alih-alih hanya menghitung jumlah paper, evaluasi harus mempertimbangkan dampak, originalitas, dan kontribusi ilmiah yang sesungguhnya.


2. Regulasi


Pemerintah melalui https://birohukum.kemendikbudristek.com/ perlu mempertimbangkan penguatan regulasi dengan memberikan definisi yang lebih spesifik tentang self-plagiarism dan salami publication. Ketidakjelasan aturan seperti yang terjadi dalam kasus USU harus dihindari.


3. Kerjasama Internasional


Indonesia perlu mengadopsi standar internasional dalam etika publikasi ilmiah dan bekerjasama dengan organisasi internasional seperti COPE (Committee on Publication Ethics). Hal ini penting untuk meningkatkan kredibilitas publikasi Indonesia di mata dunia internasional.


Isu tentang self-plagiarism dan salami publication hingga kini memang masih ramai diperbincangkan. Namun yang jelas, semua pihak mulai dari mahasiswa, dosen, hingga institusi harus berkomitmen untuk menjunjung tinggi integritas akademik. Karena pada akhirnya, kredibilitas dunia pendidikan tinggi Indonesia ada di tangan kita semua. Jadi, sudah siapkah kamu untuk berkontribusi menciptakan lingkungan akademik yang lebih etis dan berintegritas dengan menghindari kedua hal tersebut?

Related Posts

Load comments

Comments